Sebut saja namanya
Amad (nama samaran), seorang bocah berusia sekitar 8 tahunan asal kampung Buni
Pasar Emas, yang tinggal di lokasi Situs Buni Pasar Emas. Seperti kebanyakan
anak seusianya, dia biasa bermain tak jauh dari rumahnya yang merupakan kawasan
perkebunan di mana sebagian besar warga kampung tersebut mencari nafkah dari
mengolah kebun-kebun mereka sebagai mata pencaharian utama kala itu.
Siang itu, Amad
tengah asyik bermain-main di tanah kebun di dekat rumahnya sampai suatu ketika
sesuatu yang menyembul di permukaan tanah menarik perhatiannya. Amad
mendekatinya dan menyentuhnya. Dia mencoba menarik benda tersebut dari dalam
tanah namun terasa agak sedikit keras bagi tenaga anak seusianya. Tapi dia
terus mencoba, dan dengan sedikit usaha akhirnya dia berhasil menarik keluar
benda itu dari dalam tanah sepenuhnya. Amad seketika mengerenyitkan keningnya
melihat benda yang tak seberapa besar di tangannya. Diperhatikannya lama-lama
namun dia menjadi bingung sendiri karena benda itu tak pernah dilihatnya selama
ini.
Penuh rasa ingin
tahu, Amad akhirnya membawa pulang benda temuannya itu. Sesampainya di rumah,
ayahnya tampak sedang duduk di beranda. Langsung saja Amad menyorongkan benda
temuannya itu ke hadapan orang tuanya.
“Ba, ini maenan
apaan ya ?” Begitu tanya Amad. Sang ayah menoleh dengan raut datar sampai pada
saat pandangannya tertumpu pada benda yang ada di tangan anaknya. Seketika
ayahnya mengambil benda tersebut dan diperhatikannya dengan seksama. Benda itu
berbentuk lingkaran berukir berbentuk seperti seekor ular, ular naga, tepatnya.
Dengan sebagian besar bermotif sisik dan pada satu bagiannya berbentuk kepala
ular bertanduk yang sedang menggigit ekornya sendiri namun dilengkapi dengan
empat buah kaki, dua di dekat ekor dan dua di dekat bagian kepala. Dan yang
paling membuat jantung ayah Amad berdegup kencang adalah warna benda tersebut
yang kuning emas. Diperhatikannya lebih seksama dan mencoba mencari tahu bila
benda itu benar-benar terbuat dari emas atau bukan melalui cara yang dia pernah
tahu dan dengar, sampai akhirnya dia benar-benar merasa yakin, setidaknya
menurutnya, bahwa benda itu benar-benar terbuat dari emas. Sampai pada
kesimpulan itu, sang ayah segera bertanya dengan penasaran pada Amad yang sejak
tadi masih berada di dekatnya.
“Mad, dapet dari
mana ini, tong ?”
“Nemu”. Jawab Amad
singkat. Ayahnya seketika terbelalak.
“Nemu ? di mana ?”
Tanyanya tak sabar.
Noh, di sono”. Jawab
Amad tenang sambil menunjuk ke arah di mana tadi dia menemukan benda tersebut.
Ayahnya menoleh ke arah yang ditunjuk anaknya.
“Di kebon ?”
Tanyanya ayahnya lagi. Amad mengangguk. Segera saja ayahnya menggamit lengan
Amad dan menuntunnya ke arah yang tadi ditunjuk anaknya. “ayo, tong! Ayo tong!
Anterin Baba ke sono!”
Amad pun mengantar
ayahnya ke tempat dia menemukan benda tersebut. Sesampainya di lokasi yang
ditunjukkan Amad, ayahnya segera menggali tanah di tempat tersebut dan
mencari-cari dengan harapan akan mendapatkan benda yang sama lagi.
Sebelumnya, memang sudah sering warga setempat menemukan benda-benda
perhiasan dari emas di lokasi tersebut, seperti halnya Baba Ahmad Safi’udin
yang sudah seringkali menemukan benda-benda perhiasan dari emas di tanah kebun
miliknya, yang sekarang menjadi tempat yang disebut Situs Buni Pasar Emas. Dan
Baba Ahmad Safi’udin sampai saat ini masih menyimpan beberapa benda temuannya
seperti perhiasan emas, batu-batu akik, tembikar dan pecahan-pecahannya serta
benda-benda lain yang dipercaya merupakan benda-benda peninggalan sejarah
kehidupan masyarakat setempat di masa lalu. Hal ini yang membuat ayah Amad
merasa yakin kalau benda yang tadi ditemukan anaknya adalah benda yang terbuat
dari emas, seperti yang pernah ditemukan warga-warga lain sebelumnya di tanah
kebun pribadi di sekitar kediamannya.

(Gambar ini hanya merupakan rekaan saya semata
menggunakan aplikasi pengolah gambar komputer yang diambil dari satu situs
internet. Lalu saya mencoba membentuknya berdasarkan apa yang dituturkan Baba
Ahmad Safi’udin mengenai bentuk asli dari Naga Emas yang ditemukan di Situs
Buni Pasar Emas tersebut, karena terus terang, Saya sendiri belum pernah
melihatnya sama sekali)
Sekian lama mencari,
akhirnya ayah Amad menemukan sesuatu. Walau tak sama dengan apa yang ditemukan
Amad sebelumnya, tapi benda yang ditemukannya kali ini pun berwarna sama,
Kuning Emas. Benda itu berbentuk seperti dua helai daun bambu. Di bagian tengah
pada pertemuan bentuk helai daun bambu, terdapat lingkaran kecil, sedangkan
pada masing-masing ujung berlawanan dari bagian bentuk daun bambu, bentuknya
melengkung setengah lingkaran. Benda ini kemudian diperkirakan merupakan hiasan
yang biasa digunakan pada bagian kening, sedangkan bagian yang berbentuk
setengah lingkaran difungsikan untuk kaitan ke telinga pemakainya. Begitu
kira-kira menurut penuturan Baba Ahmad Safi’udin yang pernah mencoba
mengenakannya langsung di keningnya saat ayah Amad mendatanginya dan
menunjukkan benda-benda temuannya tersebut.
Sungguh disayangkan,
karena tak seperti halnya Baba Ahmad Safi’udin, ayah Amad lalu memutuskan untuk
membawa benda-benda temuannya tersebut ke toko emas dengan tujuan akan
menjualnya bila benda-benda tersebut adalah benar-benar emas adanya. Baba Ahmad
Safi’udin menyesalkan hal itu, tapi tak bisa berbuat apa-apa karena benda itu
memang ditemukan oleh ayah Amad di kebun miliknya yang secara langsung berarti
pula menjadi benda-benda miliknya, setidaknya, begitu menurut anggapan para
warga setempat, yang belum maklum mengenai status benda-benda peninggalan
sejarah, atau mungkin pula, karena setelah sekian lama, pun hingga hari ini,
tak ada upaya serius yang terlihat dari pihak yang berkompeten terhadap masalah
peninggalan sejarah untuk mengelolanya atau paling tidak menjadikannya situs
peninggalan sejarah resmi milik daerah yang dilindungi. Entah mungkin karena
benda-benda perhiasan emas telah habis ? Entah batu-batu, pecahan tembikar
ataupun tulang-belulang manusia masa lampau hanya dihargai sebatas sebutannya
sebagai benda-benda yang tak gemerlap ?
Ayah Amad, sesuai
rencananya, lalu membawa benda-benda temuannya ke Pasar Babelan, Bekasi. Dia
mendatangi salah satu toko emas di sana dan menunjukkan benda-benda temuannya
itu. Dan benar, benda-benda itu memang terbuat dari emas. Begitu menurut sang
pemilik toko yang akhirnya tanpa berpikir panjang langsung bersedia membayar
benda-benda tersebut. Konon, semua benda-benda itu dijual dengan harga sekitar
6 (enam) juta rupiah (pada saat tulisan ini dibuat, tahun 2012).
Dan selesailah sudah
cerita Naga Emas yang bahkan belum sempat diceritakan sama sekali.
Dia, sudah pergi,
entah ke mana. Pergi tanpa menyisakan banyak jejak cerita dan sedikit
kebanggaan pun pada masyarakat setempat di masa kini.
Cinta tak harus
memiliki, begitu konon katanya, demikian pula dengan sisa-sisa peninggalan
sejarah di situs Buni Pasar Emas. Jadilah saja Sejarawan, tapi tak harus
menjadi bagian dari sejarah itu sendiri, atau jadilah saja Budayawan, yang tak
selalu harus menjadi pemilik dari kebudayaan itu sendiri.
Hanya sedikit sekali yang
tersisa, mohon, tolong, tolong dan tolong, biarkan yang tinggal sedikit itu
tetap menjadi milik masyarakatnya bersama. Jangan tergoda untuk memilikinya
secara pribadi, bahkan bila seandainya merasa sangat mampu menggoda hasrat sang
penjaga benda-benda peninggalan sejarah tersebut untuk melepasnya dengan suatu
nilai penawaran tertentu.
Karena, yang tersisa dari apa yang pernah ditemukan di tempat yang kini
disebut sebagai Situs Buni Pasar Emas tinggallah pecahan tembikar yang masih
teronggok di sudut rumah Baba Ahmad Safi’udin, begitu pula tulang-belulang
manusia-manusia masa lalu yang terbungkus begitu saja di dalam karung seharga lima ribu rupiah...